"Apakah kamu ingin berteman denganku?"
Jantungku berdegup kencang saat kecantikan kelas atas di daerah itu memandangku dari atas ke bawah dengan tatapan mata, sambil mendengus kecil.
Emosi yang sekilas tercermin di matanya saat dia melihatku hampir seperti penghinaan.
Jelas dia berpikir sesuatu seperti, "Hmph, kamu pikir kamu layak?" Tapi itu tidak penting.
Kenapa? Karena dia cantik.
Kecantikan adalah keadilan, dan keindahan adalah kemewahan.
Melihat wajahnya, perasaan belas kasihan yang tidak diketahui muncul dalam diriku.
Setelah merenung sejenak, dia berbicara padaku dengan ekspresi main-main.
"Oke. Ayo kita berteman."
"Ngomong-ngomong, aku lupa membawa pencuci mulut hari ini."
"Macaron spesial yang dijual di toko pasti akan sempurna......"
"Kamu bisa membeli sebanyak itu, kan?"
"Karena kita adalah."
"Teman."
Untuk catatan, aku bukan orang bodoh.
Tentu saja, aku tahu bahwa gadis ini menyebutku teman hanya dalam nama dan berniat menggunakan aku sebagai pengantar roti.
Apakah ada alasan untukku membeli macaron mahal itu untuk seorang gadis yang hanya berpura-pura menyebutku teman?
Saat ini, aku lebih rasional dari sebelumnya.
Bahkan Sherlock Holmes, perwujudan berpikir rasional, akan kalah dengan keadaan pikiranku saat ini.
Sebagai hasil dari pemikiran yang dingin, objektif, dan rasional seperti itu—
Aku menjadi temannya.
Bagaimanapun aku berpikir tentang itu, ini adalah kemenangan besar.